MUKJIZAT AL QUR'AN

MAKALAH

KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN

Diajaukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Quran
Dosen Pengampu : H. Aceng Nurjaman, S.Ag., M.Pd.I













Disusun Oleh,
Ahmad Nurul Hadi
Ekonomi Syari’ah

Sekolah Tinggi Ekonomi Islam
BINA MUDA Cicalengka
BANDUNG
2017













BAB I





PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang

Kaum Muslim dewasa ini, menurut Muhammad al-Ghazâli, telah melakukan
kesalahan (menzalimi) terhadap agamanya dua kali. Pertama, ketika mereka tidak mampu
mengaplikasikan ajaran agamanya dengan baik dan benar, dan kedua, ketika mereka tidak
sanggup menyampaikan ajaran agamanya kepada orang “di luar” mereka. Ketika kaum
Muslim melakukan kesalahan yang pertama, ketika itulah mereka mereduksi ajaran serta
menampilkannya dalam bentuk yang dapat mengundang tuduhan “mereka” bahwa Islam
berjalan berseberangan dengan fitrah, kebebasan dan akal. Dan ketika mereka melakukan
kesalahan yang kedua, ketika itu mereka sedang membiarkan penduduk bumi di belahan
barat dan timur tidak mengenal Islam.
Adalah kenyataan, masih banyak di kalangan kaum Muslim yang menyikapi dan
memperlakukan al-Qur’an sebatas kitab keramat penangkal bala. Adapun al-Qur’an sebagai
mukjizat terbesar Nabi Saw., pilar pokok ajaran Islam, pegangan utama setiap Muslim dalam
segala aspek kehidupannya, masih luput dari pemahaman sebagian kaum Muslim. Intrekasi
sebagian besar kaum Muslim dengan al-Qur’an tidak melampaui pembacaan lahiriah untuk
mendatangkan keberkahan, pengulangan kata tanpa merasakan makna yang dimuatnya, dan
masih jarang sampai kepada tahap tadabbur.
Ini berarti bahwa sebagian umat Islam belum mampu memahami kedudukan al-
Qur’an sebagai risâlah samâwiyah nan kekal abadi yang Allah peruntukkan bagi manusia dan
kemanusiaannya. Risalah al-Qur’an yang mencakup semua aspek kehidupan itu terjamin
keabadian, keutuhan, orisinalitas serta kesinambungannya. Menurut penulis, itulah arti
sebenarnya dari i’jâz (kemukjizatan) al-Qur’an, dan pengertian ideal dari statemen “Al-
Qur’an adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw.,”  yang setiap orang Islam pintar
melafalkannya.
B.                Rumusan Masalah
1.Apa pengertian mukjizat al-Quran ?
2. Apa saja macam-macam mukjizat ?
3.Aspek-aspek Kemu’jizatan Al-Qur’an ?

C.                Tujuan Penulisan
1.Mengetahui pengrtian kemukjizatan al-Quran.
2.Mengetahui macam-macam mukjizat.
3.Mengetahui unsur-unsur mukjizat.
4.Mengetahui segi-segi kemukjizatan al-Quran.
5.Dalil tentang kemukjizatan al-quran.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mukjizat

Menurut bahasa kata Mu’jizat berasal dari katai’jaz diambil dari kata
kerja a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya
(yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain
amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat.
Menurut istilah Mukjizat adalah  peristiwa luar biasa yang terjadi melalui
seseorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya. Dengan redaksi yang
berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan
Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran
pengakuan kenabian dan kerasulannya.
Kata I’jaz dalam bahasa Arab berarti menganggap lemah kepada orang lain.
Sebagimana Allah berfirman:

(المائدة: 31)أَعْجَزَتُ أَنْ أَكُوْنَ مِثْلَ هَذَاالْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ

أَخِيْ

“…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku
dapat menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31)
Maksud kumukjizatan Al-Qur’an bukan semata mata untuk melemahkan
manusia atau menyadarkan mereka atas kelemahanya untuk mendatangkan semisal
Al-Qur’an akan tetapi tujuan yang sebenarnya adalah untuk menjelaskan kebenaran
Al-Qur’an dan Rasul yang membawanya dan sekaligus menetapkan bahwa sesuatu
yang dibawa oleh mereka hanya sekedar menyampaikan risalah Allah SWT,
mengkhabarkan dan menyerukan.
Unsur-unsur mukjizat, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah:
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa
Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan,
tidak dinamai mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang
biasa. Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar
jangkauan sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum. Demikian

pula dengan hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa,
karena dapat dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam
definisi di atas.
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.
Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun. Apabila
keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak
dinamai mukjizat. Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang
kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan irhash.
Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi
inipun tidak disebut mukjizat, melainkan karamah atau kerahmatan.
Bahkan,karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang
terakhir dinamai ihanah(penghinaan) atau Istidraj (rangsangan untuk lebih
durhaka lagi).
Bertitik tolak dari kayakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW.
adalah Nabi terakhir, maka jelaslah bahwa tidak mungkin lagi terjadi
suatumukjizat sepeninggalannya. Namun, ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan
tidak dapat terjadi dewasa ini.
3. Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian
Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan
sebelum dan sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan
sesuatu yang berjalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu
ini dapat bicara”, tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa “Sang
penantang berbohong”, maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat,
tetapi ihanah atauistidraj
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa
pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa
kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Untuk
membuktikan kegagalan mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap Nabi sesuai dengan
bidang keahlian umatnya.

B. Macam-Macam Mukjizat

Menurut syahrur mukjizat dapat diklarifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Mu’jizat Material Indrawi
Artinya Mukjizat yang tidak kekal, maksudnya mukjizat jenis ini hanya
berlaku pada Nabi selain Nabi Muhammad Saw dan juga mukjizat ini juga
berlaku untuk jaman tertentu, kapan mukjizat itu di turunkan. Oleh karena itu
wajar kalau sifat mukjizat tersebut tidak kekal. Secara umum dapat diambil
contoh adalah mukjizat nabi Musa AS dapat membelah lautan, mukjizat nabi
Daud AS dapat melunakkan besi, mukjizat nabi Isa AS dapat menghidupkan
orang mati, mukjizat nabi Ibrahim AS tidak hangus oleh api saat di bakar dan
mukjizat-mukjizat nabi lainnya.
2. Mukjizat Immaterial
Artinya Mukjizat ini bersifat kekal dan berlaku sepanjang jaman. Mukjizat
tersebut adalah al-Quran al-Karim. Hal ini, menurut Syahrur karena Muhammad
(sebagai penerima mukjizat ini) nabi terkhir sehingga mukjizatnya harus memiliki
sifat abadi dan berlaku sampai dunia ini hancur, secara lebih gampang Syahrur
membedakan mukjizat Nabi Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya. Pertama,
aspek rasionalitas kenabian Muhammad yang berupa al-Quran dan al-sab’ul al-
matsanimendahului pengetahuan inderawi, yaitu dalam
bentuk mutasyabih. Setiap jaman berubah, konsepsi-konsepsi al-Quran masuk
kedalam wilayah pengetahuan inderawi yang disebut sebagai takwil langsung
yaitu kesesuaian antara teks pengetahuan terhadap hal iderawi. Kedua, al-Quran
memuat hakikat  wujud mutlak yang dapat di fahami secara relatif sesuai dengan
latar belakang pengetahuan. Pada masa yang di dalamya usaha pemahaman al-
Quran dilakukan. Ketiga, kemukjizatan al-Quran bukan hanaya bentuk redaksinya
saja, tetapi juga kandungannya.
C. Unsur-Unsur Mukjizat

M. Quraish Shihab dalam tulisan Rosihan menjelaskan empat unsur mukjizat
yaitu:
1. Hal  atau peristiwa yang luar biasa. Peristiwa-peristiwa alam atau kejadian sehari-
hari walaupun menakjubkan tidak dinamakn mukjizat. Ukuran “luar biasa”
tersebut adalah tidak bertentangan dengan hukum alam, namun akal sehat pada
waktu terjadinya peristiwa tersebut belum bisa memahaminya.

2. Terjadi atau dipaparkan oleh seorang Nabi Artinya sesuatu yang luar biasa
tersebut muncul dari atau berkenaan dengan seorang Nabi. Peristiwa besar yang
muncul dari seorang calon Nabi tidak dikatan mukjizat, apalagi dari manusia
biasa seperti kita.
3. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian. Mikjizat terkait erat
dengan tantangan dan jawaban terhadap orang-orang yang meragukan kenabian.
Jadi peristiwa yang terkait dengan Nabi, tapi tidak berkenaan dengan kenabian
tidak bisa dikatakn sebagai mukjizat.
4. Tantangan tidak mampu gagal dilayani. Mukjizat merupakan tantangan terhadap
orang-orang yang meragukan atau mengingkari kenabian dan mereka tidak
mampu melayani tantangan tersebut. Oleh karena itu, kalau tantangan tersebut
mampu dilawan atau dikalahkan, maka tantangan tersebut bukanlah bentuk
mukjizat.
Keempat unsur tersebut menjadi Syarat bagi peristiwa tertentu sehingga
peristiwa ini bisa dinamakan mukjizat. Kalau salah satu unsur tersebut tidak ada,
maka peristiwa itu tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat. Untuk memahami
esensi keempat unsur mukjizat tersebut, kita mesti memahami segi-segi
kemukjizatan, khususnya kemukjizatan al-Quran.


D. Segi-Segi Kemukjizatan Al-Quran

Syeikh Muhammad Ali al-Shabuniy dalam tulisan Usman menyebutkan segi-
segi kemukjizatan al-Quran, yaitu:
1. Keindahan sastranya yang sama sekali berbeda dengan keindahan sastra yang
dimiliki oleh orang-orang Arab
2. Gaya bahasanya yang unik yang sama sekali berbeda dengan semua gaya
bahasa yang dimiliki oleh bangsa  Arab
3. Kefasihan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi dan dilakukan oleh
semua makhluk termasuk jenis manusia
4. Kesempurnaan syariat yang dibawanya yang mengungguli semua syariat dan
aturan-aturan lainnya
5. Menampilkan berita-berita yang bersifat eskatologis yang tidak mungkin dapat
dijangkau oleh otak manusia kecuali melalui pemberitaan wahyu al-Quran itu
sendiri

6. Tidak adanya pertentangan antara konsep-konsep yang dibawakannya dengan
kenyataan kebenaran hasil penemuan dan penyelidikan ilmu pengetahuan
7. Terpenuhinya setiap janji dan ancaman yang diberitakan al-Quran
8. Ilmu pengetahuan yang dibawanya mencakup ilmu pengetahuan syariat  dan
ilmu pengetahaun alam (tentang jagat raya).
9. Dapat memenuhi kebutuhan manusia
10. Dapat memberikan pengaruh yang mendalam dan besar pada hati para
pengikut dan musuh-musuhnya
11. Susunan kalimat dan gaya bahasanya terpelihara dari paradoksi dan
kerancuan.

E. Beberapa  Dalil Tentang Kemukjizatan Al-Quran

Untuk menjelaskan hal ini, kita harus memberikan pemamparan dalam bentuk
poin-poin, yang setiap poinnya dapat dijadikan sebagai dalil bagi kemukjizatan al-
alquran, yaitu sebagai berikut.
1. Al-quran tersebar luas dimuka bumi ini, termasuk di jazirah Arab, khususnya
di  Kota Mekkah, yang merupakan daearah yang belum mengenal peradaban
dan kebudayaan metroplis sebagaimana yang telah dihasilkan oleh berbagai
masyarakat yang dianggap maju.
Hal ini merupakan satu alasan yang membuktikan bahwa al-quran bukan hasil
dari hukum alam biasa. Itu karena hukum alam sendiri menegaskan bahwa al-
quran merupakan cerminan dan sandaran bagi peradaban masyarakat, tempat
kitab ini diturunkan dan sekaligus membuat mereka menjadi masyarakat yang
berbudaya.
Dengan cara ini, kita semakin mengetahui bahwa pilihan yang jatuh kepada
masyarakat dan lingkungan tertentu merupakan mukjizat pertama yang dapat
mengalahkan hukum alam. Al-quran akhirnya dapat melahirkan satu peradaban
baru dan membentuk lingkungan yang berperadaban tinggi, baik dari segi
pemikiran maupun sosial kemasyarakatan.
2. Al- quran dibawa oleh rasulullah Saw dan juga disebarluaskan kepada
penduduk bumi ini oleh salah seorang penduduk Mekkah yang belum pernah
mengecap pendidikan dan pengajaran meski hanya sedikit.

Beliau merupakan sosok individu yang sama sekali tidak mampu membaca
dan menulis. Ia hidup selama empat puluh tahun ditengah tengah masyarakatnya
tetapi selama kurun waktu itu ia pernah mendapat pendidikan atau pengaruh ilmu
pengetahuan dan sastra apa pun, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-quran:
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-quran) sesuatu kitab pun dan
kamu (tidak) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu
pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang
mengingkari (mu).
Dan juga firman-Nya yang artinya:

Katakanlah, “ jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya
kepadamu. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lamanya
sebelumnya. Maka kamu tidak memikirkannya.
Hal di atas di anggap sebagai bentuk lain dari mukjizat al-quran yang mampu
mengalahkan kekuatan hukum alam. Jika al-quran turun dan tercipta sesuai
dengan hukum alam, maka tidak akan mungkin al-quran diturunkan kepada
seorang individu yang buta huruf, yang sama sekali tidak mengenal peradaban
walau peradaban masyarakatnya sendiri meski peradaban masyarakatnyanya
ketika itu masih sangat sederhana. Beliau Nabi Saw juga tidak mengetahui ilmu
bahasa dan berbgai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa tetapi mampu
menghasilkan sutau karya sastra yang bernilai tinggi, yang melebihi kemampuan
para ahli bahasa dan sastra manapun.

F. Beberapa Bukti Kemukjizatan Al-Qur’an

Ada beberapa fakta historis dan sejumlah nas yang dapat kita nilai sebagai
bukti bahwa al-Qur’an adalah benar-benar Kitab Mukjizat. Di antaranya:
Pertama, keyakinan kita bahwa al-Qur’an yang sekarang kita baca, yang
terjaga dan termaktub dalam lembaran-lembaran mushhaf adalah benar- benar al-
Qur’an yang dibawa Muhammad Saw., yang beliau bacakan kepada kaum
sezamannya dalam rentang waktu sekitar 23 tahun. Keyakinan ini berdasar atas
kenyataan bahwa al-Qur’an diterima dan disampaikan dengan sandaran sanad
yang mutawatir dari satu generasi ke generasi berikutnya, hal mana memberi
jaminan akan orisinalitas dan otentisitas al-Qur’an. Selain kemutawatiran
periwayatannya, otentisitas al-Qur’an lebih diperkuat lagi dengan kenyataan

historis bahwa al-Qur’an segera dikodifikasi dari catatan-catatan yang masih
tercecer tidak lama setelah Nabi Saw. meninggalkan generasi awal umat ini.
Hafalan-hafalan para penghafal yang tidak pernah luput dari generasi-generasi
semakin memperkuat keutuhan dan kemurnian al-Qur’an yang telah terkodifikasi
dalam catatan.
Kedua, setelah kita yakin akan kemurnian al-Qur’an, dengan sendirinya kita
mesti percaya atas kebenaran warta yang dibawanya. Dalam QS. al-Baqarah/2:
23-24, Hûd/11: 13-14, al-Isrâ`/17: 88 dan al-Thûr/52: 33-34, al- Qur’an
mengabarkan bahwa ia pernah menantang orang Arab yang terkenal dengan
kesusastraannya yang tinggi untuk membuat rangkaian kata berupa ayat atau surat
yang semisal dengan al-Qur’an. Mereka tidak mampu melakukan apa yang
diminta al-Qur’an itu. Adanya tantangan al-Qur’an dan ketidakmampuan pihak
yang ditantang, dua hal yang merupakan syarat terwujudnya mukjizat, merupakan
bukti bahwa al-Qur’an itu betul-betul merupakan mukjizat. Jika mereka tidak
mampu untuk menciptakan ayat atausurat yang semisal dengan al-Qur’an, maka
mereka lebih tidak akan sanggup lagi untuk mendatangkan makna-makna, ajaran-
ajaran dan dimensi-dimensi seperti yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an,
sampai kapan pun.
Ketiga, pengaruh al-Qur’an terhadap orang Arab. Pengaruhnya terhadap orang
Arab musyrikin terlihat pada pengakuan mereka akan keindahan gaya dan tata
bahasa serta susunan redaksionalnya yang sangat memikat. Kenyataan inilah yang
memaksa al-Walîd bin al-Mughîrah al-Makhzûmî untuk mengakui dan berterus
terang kepada Abû Jahal bahwa al-Qur’an adalah al-haqq (kebenaran) yang luhur
dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.
Sedang pengaruhnya terhadap orang Arab yang beriman, al-Qur’an lewat
pendidikan yang diberikan pembawanya kepada para sahabat, telah mengubah
jiwa mereka yang sebelumnya sarat dengan nilai-nilai buruk jahiliah menjadi
jiwa-jiwa suci yang telah mencatat revolusi mental-sosial maha dahsyat dalam
sejarah.

Demikian beberapa bukti kemukjizatan al-Qur’an yang dapat dijadikan
landasan historis dan normatif ketika membahas aspek-aspek kemukjizatan al-
Qur’an.

G. Beberapa Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an

Merupakan kesepakatan para ulama bahwa al-Qur’an mempunyai mukjizat
bukan hanya dalam satu sisi tertentu saja, melainkan dalam banyak
aspek: lafzhiyah(aspek kebahasaan), ma’nawiyah dan rûhiyah. Semuanya menjadi
satu kesatuan mukjizat yang manusia tidak mampu berbuat apa pun di hadapannya.
Terdapat perbedaan dalam menentukan berapa jumlah aspek kemukjizatan al-
Qur’an. Penulis dan pemikir Muslimah Mesir, Fâthimah Ismâ’îl dalam bukunya al-
Qur’ân wa al-Nazhr al-‘Aql misalnya, lebih menekankan bahwa kemukjizatan al-
Qur’an terdapat pada sisi rasionalitasnya. Al-Qur’an, menurutnya, senantiasa
menyeru manusia dengan menggunakan bahasa akal. Contoh paling kentara adalah
ketika kaum musyrik menuntut Muhammad mendatangkan ayat-ayat (mukjizat) yang
bersifat materi-indrawi, dengan tegas al-Qur’an membalas tuntutan itu dengan
jawaban rasional (QS. al-‘Ankabût/29: 50-51).
Selain itu Rasul Saw. menyeru kaumnya seraya menegaskan bahwa al-Qur’an
bukanlah tipe mukjizat yang menyepelekan akal dan budaya berpikir. Melainkan
berupa ayat-ayat yang memerlukan tadabur dan penelaahan saksama yang mendalam
akan isi kandungannya.
Penulis dan pemikir Mesir lainnya, ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd, lebih
menyoroti sisi kemukjizatan al-Qur’an pada keseluruhan ideal-moralnya.
Menurutnya, kemukjizatan al-Qur’an tertumpu pada relevansi ajaran akidah (falsafah
qur’âniyah) yang dibawanya bagi kehidupan manusia tanpa mengenal batas ruang
dan waktu.
Bagi Râyid Ridhâ, selain terdapat pada keindahan uslub dan balaghahnya yang
luar biasa, dia lebih menilik kemukjizatan al-Qur’an pada pengaruh kejiwaannya
terhadap bangsa Arab umunya, dan terhadap penganutnya secara khusus. Al-Qur’an,
menurutnya, telah melahirkan perubahan besar dan revolusi dahsyat yang dilakukan
oleh mereka yang mempedomaninya dengan benar dan baik.
Mannâ’ al-Qaththân mempunyai sorotan yang sama dengan Râsyid Ridhâ,
yaitu ketika ia mengatakan bahwa al-Qur’an, bagaimana pun adalah Kitab Suci yang
telah mengubah bangsa Arab para penggembala binatang ternak menjadi pemimpin
dan pemegang kendali peradaban manusia. Kenyataan ini saja cukuplah menjadi
kesaksian bagi kamukjizatan al-Qur’an.
Sedangkan menurut ‘Abdul Wahhâb Khallaf, aspek-aspek kemukjizatan al-
Qur’an antara lain:

Pertama, keterpaduan dan keserasian antara ungkapan-ungkapan, makna-
makna, hukum-hukum dan konsep-konsep yang dibawa dan ditawarkannya. Al-
Qur’an, dengan 6000 lebih ayat yang dikandungnya, ketika ia mengungkapkan
sesuatu yang hendak disampaikannya, baik tentang masalah keimanan, akhlak,
hukum, maupun beberapa konsep dasar tentang semesta, kehidupan sosial dan
individual, menggunakan ungkapan-ungkapan dan redaksi yang bercorak dan
beragam. Dalam keragaman ini tidak ditemukan adanya pertentangan dan kontradiksi
satu sama lainnya.
Kedua, kesesuaian ayat-ayatnya dengan penemuan-penemuan ilmiah.
Ketiga, kandungan beritanya tentang berbagai peristiwa yang hanya diketahui
oleh Yang Maha Mengetahui tentang alam gaib.
 Keempat, kefasihan kata-kata yang dipilihnya, keindahan redaksi yang
digunakannya serta kekuatan pengaruh yang ditimbulkannya.
Sementara itu al-Shabûnî menandai tidak kurang dari sepuluh aspek
kemukjizatan al-Qur’an, sebagai berikut:
Susunan kata-katanya yang sangat indah dan menarik, sangat berbeda dengan
susunan yang kerap diucapkan oleh bangsa Arab.
Susunan redaksional yang indah menawan, sangat berbeda dengan uslub-uslub orang
Arab umunya.
Kekayaan dan kepadatan makna yang dikandungnya. Tidak mungkin ada makhluk
yang mampu mendatangkan ayat serupa ayat al-Qur’an.
Muatan ajaran tasyriknya yang lengkap dan sempurna. Sama sekali berbeda dengan
hukum-hukum buatan manusia.
Berita-berita gaib yang diceritakannya yang tidak mungkin diketahui selain lewat
wahyu.
Tidak adanya pertentangan dengan ilmu-ilmu kealamsemestaan.
Ketepatan janji dan ancamannya sesuai dengan apa yang diberitakannya.
Ilmu dan pengetahuan yang dikandungnya (ilmu-ilmu syariah dan kauniyah).
Memenuhi segala kebutuhan manusia.
Pengaruhnya yang mendalam dalam hati para pengikutnya.
Dari sekian aspek kemukjizatan al-Qur’an tersebut di atas, ada tiga sisi yang
penulis anggap perlu dibahas secara tersendiri, yaitu al-i’jâz al-‘ilmî (kemukjizatan
al-Qur’an dalam aspek ilmu pengetahuan kealaman), al-i’jâz al-
lughawî(kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek kebahasaan, uslub yang digunakan dan

susunan serta tertib ayatnya) dan al-i’jâz al-tasyrî’î (kemukjizatan al-Qur’an dalam
aspek ajaran syariat yang dikandungnya).
1. Al-I’jâz al-‘Ilmî
Tentang hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, Quraish Shihab
menyatakan bahwa ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh al-Qur’an,
tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran
Tuhan dan keesaan-Nya, serta mendorong manusia seluruhnya untuk
mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan keimanan dan
kepercayaan kepada-Nya. Quraish lalu mengutip pendapat Mahmûd Syaltut yang
mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan al-Qur’an untuk
menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori
ilmiah, problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan.

Tentang hal ini, Quraish menyimpulkan enam hal:
Al-Qur’an adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia
seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyrik dan akhlak demi
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tiada pertentangan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
Memahami hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan
melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di
dalamnya, tapi dengan melihat adakah al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya
menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju.
Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan al-Qur’an
bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat al-Qur’an dan bertentangan pula
dengan ciri khas ilmu pengetahuan.
Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah
berdasarkan al-Qur’an) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat Islam
dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuan yang
dikuatirkan akan terjadi pula dalam Islam, sehingga cendekiawan Islam berusaha
menampakkan hubungan antara al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
Memahami ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan penemuan-penemuan baru
adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai akidah
Qur’aniyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip atau ketentuan bahasa.

Pendapat Quraish ini senada dengan Mannâ’ al-Qaththân yang dengan tegas
menyatakan bahwa orang telah melakukan kesalahan ketika dengan menggebu
mengatakan bahwa al-Qur’an mengandung segala teori ilmiah. Keyakinan serupa
ini, kata al-Qaththân, akan bertabrakan dengan kenyataan bahwa sifat teori-teori
ilmu pengetahuan senantiasa berubah sejalan dengan dinamika perubahan waktu
sesuai dengan sunnah kemajuan. Apa yang diklaim sebagai kebenaran ilmiah
pada satu saat, pada saat mendatang tidak mustahil terbukti kesalahannya.
Kemukjizatan ilmiah al-Qur’an, tegas al-Qaththân, justru terletak pada
motivasinya untuk berpikir. Ia mendorong manusia untuk memperhatikan dan
mencermati alam dan gejalanya, sambil memberikan akses dan porsi yang baik
dan besar bagi akal. Al-Qur’an tidak pernah menghalang-halangi pemeluknya
untuk menambah ilmu pengetahuannya kapan dan di mana pun.
Sedangkan menurut Ahmad Baiquni, hubungan al-Qur’an dengan ilmu
pengetahuan kealaman adalah bahwa sebagai hamba Allah manusia dikaruniai
akal serta pikiran untuk dapat memilih tindakan mana yang baik dan mana yang
tidak untuk kebahagiaan akhiratnya, tetapi juga untuk bertahan hidup di dunia dan
memanfaatkan lingkungannya sebagai sumber bahan pangan dan papan, sehingga
ia dapat memperoleh kebahagiaan dunia sebagai khalifah yang bertanggung
jawab. Untuk itu semua, Allah telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
seluruh manusia, secara garis besar, baik untuk ilmu keakhiratannya yang
rinciannya ada di dalam Sunnah Rasul, maupun ilmu keduniaan yang rinciannya
berada di dalamal-kaun (semesta).
Dengan bimbingan al-Qur’an manusia diarahkan agar mengembangkan sains
untuk mengetahui sifat dan tingkah laku alam sekitarnya pada kondisi-kondisi
tertentu, dan dengan penguasaan sains ini manusia dapat membuat kondisi yang
sedemikian rupa hingga alam beraksi, yang mengarah pada hasil yang
menguntungkannya; ia menciptakan teknologi. Dengan sains dan teknologilah
manusia memanfaatkan dan melestarikan alam sekelilingnya sebagai layaknya
penguasa yang baik. Kemampuan manusia untuk mengarahkan alam
lingkungannya dengan teknologi agar alam beraksi yang menguntungkannya itu
disebabkan karena Allah, Sang Pemurah dan Penyayang telah menetapkan
peraturan-peraturan- Nya yang harus diikuti dengan taat oleh seluruh alam, dan
manusia mengetahui Sunnatullah yang telah diberlakukan itu dari nazhr pada sisi
langit dan bumi yang menghasilkan sains.

2. Al-I’jâz al-Lughawî
Al-Shabûnî menandai adanya tujuh karakteristik uslub al-Qur’an:
Sentuhan serta nuansa kata-kata al-Qur’an yang indah dan menawan, seperti
terlihat dalam keindahan bunyi dan nada yang ditimbulkan serta bahasa yang elok
menarik.
Membuat rela dan puas semua kalangan, baik khalayak awam maupun
kalangan khusus tertentu. Dalam arti, semua sepakat mengakui keagungannya
dan merasakan keindahannya.
Memberikan kepuasan bagi akal dan emosi secara berbarengan. Ia menyentuh
akal dan hati serta memadukan kebenaran dan keindahan secara apik dan indah.
Kualitas pemaparan yang tinggi serta cara penuangan makna-makna yang kokoh.
Keseluruhan al-Qur’an bak satu jalinan yang memikat dan memesona akal
serta mengundang perhatian pandangan hati.
Kelihaiannya dalam mengolah kata dan menuangkan aneka ragam
penyampaian. Artinya, ia kerap menuangkan satu makna dengan beragam kata
dan cara penuturan. Semua mempunyai nilai keindahan yang amat tinggi.
Memadukan antara penuturan global dengan penjelasan detil.

Singkat redaksi padat arti.

Sekaitan dengan hal ini Rasyîd Ridhâ menulis:
Jika semua ajaran akidah Islam yang disampaikan al-Qur’an, seperti tentang
keimanan kepada Allah, malaikat, rasul dan seterusnya disatukan secara urut
dalam tiga surat saja; jika semua ajaran tentang ibadah disusun dan disatukan
dalam beberapa surat saja; jika semua hukum, etika, nilai-nilai keutamaan yang
diajarkannya disampaikan dalam sepuluh surat saja atau lebih; seandainya
kaidah-kaidah dasar tentang hukum syariah, hukum-hukum perdata, politik,
ekonomi, kepemilikan, sosial dan hukum-hukum pidana lainnya diurut dan
disatukan dalam beberapa surat secara tersendiri; jika kisah-kisah yang
dibawakan al-Qur’an dengan ajaran, petuah, dan wejangan yang dikandungnya
dipaparkan dalam satu atau dua surat saja secara tersendiri layaknya buku sejarah;
jika semua muatan al-Qur’an yang telah disebutkan dan yang belum disebutkan
dipisahkan secara sendiri-sendiri, pastilah al-Qur’an akan kehilangan
keistimewaan hidayah teragungnya dari ajaran tasyrik yang dibawanya, juga akan

kehilangan hikmah dari diturunkannya al-Qur’an itu sendiri, yaitu ta’abbud, juga
tentulah para penghafalnya akan kehilangan banyak ajaran, pelajaran, dan nilai-
nilai ideal yang dikandungnya. Sebab, misalnya, jika ada orang yang hafal satu
atau dua surat saja, maka yang akan ia dapatkan hanya satu ajaran saja,
umpamanya tentang tentang akidah atau tentang hukum saja, sementara ajaran-
ajaran lainnya luput darinya. Selain akan kehilangan banyak mutiara kandungan
al-Qur’an, juga seandainya disusun secara sendiri-sendiri berdasarkan tema-tema
tertentu, maka ia akan kehilangan ciri paling khas dari kemukjizatan al-Qur’an itu
sendiri.
3.Al-Ij’jâz al-Tasyrî’î
Kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ini adalah bahwa al-Qur’an datang
membawamanhaj tasyrî’ yang sempurna, yang menjamin terpenuhinya segala
kebutuhan manusia seluruhnya pada setiap zaman dan tempat. Dengan ajaran ini
kondisi manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, menjadi mulia dan
luhur, di dunia dan akhirat. Model tasyrî’ qur’ânî ini sangat berbeda dengan
semua jenis hukum, aturan dan perundangan buatan manusia.
Masmû’ Abû Thâlib menilik beberapa butir yang menjadi bukti kemukjizatan
al-Qur’an dalam aspek ini. Sebagai berikut:
Memperbaiki dan meluruskan akidah dengan jalan menunjukkan manusia
akan hakikat asal kejadian (al-mabda`) dan akhir (al-ma’âd) kehidupan serta
kehidupan di antara keduanya. Butir ini berisi ajaran tentang keimanan kepada
Allah, malaikat, kitab, para rasul dan hari akhir.
Memperbaiki dan meluruskan praktik ibadah dengan jalan menunjukkan
manusia akan ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang dapat menyucikan jiwa dan
mental manusia.
Memperbaiki akhlak dengan jalan menunjukkan manusia akan nilai-nilai
keutamaan dan perintah untuk menjauhi segala bentuk kekejian dan keburukan,
serta menjaga keseimbangan.
Memperbaiki dan meluruskan kehidupan dengan jalan memerintahkan
manusia agar mereka menyatukan barisan, menghapus segala benih fanatisme dan
gap yang membawa kepada perpecahan. Ini dilakukan dengan jalan
mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari jenis dan jiwa yang sama.
Meluruskan kehidupan politik dan tata kehidupan bernegara. Ini dilakukan
dengan jalan memancangkan keadilan mutlak, persamaan antara sesama manusia

dan memelihara nilai-nilai luhur keutamaan seperti keadilan, dedikasi, kasih
sayang, persamaan dan kecintaan dalam segala bentuk hukum dan interaksi
sosial.
Memperbaiki dan meluruskan perilaku ekonomi dan pendayagunaan harta,
dengan jalan anjuran untuk membudayakan hidup hemat, memelihara harta dari
kesia-siaan dan kepunahan.
Meluruskan aturan perang dan perdamaian, dengan jalan memberikan
pengertian hakiki tentang perang, larangan menganiaya, kewajiban menepati
perjanjian dan mengutamakan perdamaian daripada peperangan.
Memerangi sistem perbudakan dan anjuran untuk memerdekakan para budak.
Membebaskan akal budi dan nalar pikir dari segala tiran yang membelenggunya,
seraya memerangi pemaksaan, intimidasi dan absolutisme.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Qur’an memuat multidimensi yang kesemuanya diperuntukkan bagi kebaikan
umat manusia. Sebanyak dimensi yang dikandung al-Qur’an sebanyak itu pula mukjizat
yang dimilikinya. Itu tidak lain karena setiap dimensi yang dimilikinya, pada saat yang
sama juga merupakan dimensi-dimensi kemukjizatan al-Qur’an. Dari sini kita dapat
dengan tegas mengatakan bahwa al-Qur’an adalah seluruhnya mukjizat. Tidak ada
pemilahan. Tidak ada di antara muatan al-Qur’an yang bukan mukjizat.
Unsur mukjizat ada empat, yaitu hal yang atau peristiwa yang luar biasa, terjadi atau
dipaparkan oleh seorang nabi, mengandung tantangan terhadap yang meragukan, dan
tantangan tersebut tidak mampu di layani.
Menurut Syeikh Muhammad Ali al- Shabuniy, segi-segi kemukjizatan al-quran ada
sebelas. Beberapa dalil tentang kemukjizatan al-quran:
1. Al-quran tersebar luas dimuka bumi ini, termasuk di jazirah Arab, khususnya di Kota
Mekkah, yang merupakan daearah yang belum mengenal peradaban dan kebudayaan
metroplis sebagaimana yang telah dihasilkan oleh berbagai masyarakat yang
dianggap maju.
2. Al- quran dibawa oleh rasulullah Saw dan juga disebarluaskan kepada penduduk
bumi ini oleh salah seorang penduduk Mekkah yang belum pernah mengecap
pendidikan dan pengajaran meski hanya sedikit. Sebagaimana yang dinyatakan dalam
al-quran
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-quran) sesuatu kitab pun dan
kamu (tidak) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari (mu).

B.     Saran
Demikian tugas pembuatan makalah ini meskipun jauh dari kesempurnaan, harapan
kami dengan adanya makalah ini kita dapat mengetahui tentang kemukjizatan al-quran

yang sangat luar biasa tersebut. Dan semoga dengan adanya pembuatan makalah ini kita
dapat mengambil manfaatnya khususnya bagi  para pembaca sekaliaN.

DAFTAR PUSTAKA

Abû Thâlib, Masmû Ahmad, Khulashah al-Bayân fî Mabâhits min ‘Ulûm al-Qur’ân,Cairo:
Dâr al-Thibâ’ah al-Muhammadiyah, cet. I, 1994.
Al-‘Aqqâd, ‘Abbâs Mahmûd, al-Falsafah al-Qur’âniyah,Cairo: Dâr al-Hilâl, tt.
Al-Ghazâlî, Muhammad, al-Mahâwir al-Khamsah lî al-Qur’ân al-Karîm, Mansoura: Dâr al-
Wafâ`, cet. I, 1989.
Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Mu`assasah Manâhil al-
‘Irfân, cet. II, 1980.
Al-Suyûthî, Jalâluddîn, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. III,
1995.
Baiquni, Achmad, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman,Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Primayasa, cet. I, 1996.
Ismâ’îl, Fâthimah, al-Qur’ân wa al-Nazhr al-‘Aqlî, Virginia: International Institute of Islamic
Though, cet. I, 1993.    
Khalaf, ‘Abdul Wahhâb, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh,Cairo: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyah, cet.
VIII, 1990.
Muhammad, Mamdûh Hasan, I’jâz al-Qur’ân lî al-Bâqilânî,Cairo: Dâr al-Amîn, cet. I, 1993.
Ridhâ, Muhammad Rasyîd, al-Wahy al-Muhammadî,Beirut: al-Maktab al-Islâmî, cet. X,
1985.
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Qur’an,Bandung: Mizan, cet. XIII, 1996.
Sumber lain :
http://kumpulanmakalah94.blogspot.co.id/
http://firmankumai.blogspot.co.id/2014/10/makalah-ulumul- quran-tentang.html
http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.co.id/2012/03/makalah-mukjizat- al-quran.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RUANG LINGKUP DAN KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM

Manfaat IKutan PERS MAHASISWA

SEJARAH PERJALANAN INDONESIA